Seorang teman menceritakan kekagumannya pada seorang nenek yang mangkal
di depan Pasar Godean, Sleman, Yogyakarta. Ketika itu hari Minggu, saat
dia dan keluarganya hendak pulang usai silaturahim bersama kerabat,
mereka melewati Pasar Godean.
Ibu dan teman saya tergoda membeli ayam goreng di depan pasar untuk
sajian makan malam. Kebetulan hari mulai gelap. Di samping warung ayam
goreng tersebut ada seorang nenek berpakaian lusuh bak pengemis, duduk
bersimpuh tanpa alas, sambil merangkul tiga ikat sapu ijuk. Keadaannya
terlihat payah, lemah, dan tak berdaya. Setelah membayar ayam goreng,
ibu teman saya bermaksud memberi Rp. 1000,- (tahun 2004) karena iba dan
menganggap nenek tadi pengemis. Saat menyodorkan lembaran uang tadi,
tidak diduga si nenek malah menunduk kecewa dan menggeleng pelan. Sekali
lagi diberi uang, sekali lagi nenek itu menolak.
Penjual ayam goreng yang kebetulan melihat kejadian itu kemudian
menjelaskan bahwa nenek itu bukanlah pengemis, melainkan penjual sapu
ijuk. Paham akan maksud keberadaan sang nenek yang sebenarnya, ibu teman
saya akhirnya memutuskan membeli tiga sapunya yang berharga Rp. 1.500,-
per ikat. Meskipun ijuknya jarang-jarang dan tidak bagus, ikatannya pun
longgar.
Menerima uang Rp. 5.000,- si nenek tampak ngedumel sendiri. Ternyata dia tidak punya uang kembalian/
"Ambil saja uang kembaliannya,", kata ibu teman saya. Namun, si nenek
ngotot untuk mencari ang kembalian Rp. 500,-. Dia lalu bangkit dan
dengan susah payah menukar uang di warung terdekat.
Ibu teman saya terpaku melihat polah sang nenek. Sesampainya di mbol, ia
masih terus berpikir, bagaimana mungkin di zaman sekarang masih ada
orang yang begitu jujur, mandiri, dan mempunyai harga diri yang begitu
tinggi.
No comments:
Post a Comment